Tentang Uang, Jakarta – Mata uang rupiah dibuka dengan pelemahan pada perdagangan awal pekan ini, Senin (16/12/2024), di posisi Rp16.023 per dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data dari Bloomberg, nilai tukar rupiah mengalami penurunan sebesar 0,09% atau 14,5 poin, dibandingkan dengan posisi penutupan akhir pekan lalu.
Pergerakan Dolar AS dan Mata Uang Asia Lainnya
Pada saat yang sama, indeks dolar AS terpantau turun sebesar 0,15% menjadi 106,84. Seperti rupiah, sebagian besar mata uang Asia juga mengalami pelemahan, termasuk yen Jepang yang melemah 0,14%, dolar Taiwan melemah 0,05%, won Korea Selatan melemah 0,1%, peso Filipina melemah 0,38%, dan yuan China melemah 0,05%.
Namun, ada beberapa mata uang Asia yang menguat, seperti dolar Singapura yang menguat 0,3%, dolar Hong Kong yang menguat 0,01%, serta rupee India yang menguat 0,08%.
Proyeksi Pergerakan Rupiah
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, memprediksi bahwa rupiah akan tetap mengalami pelemahan dan diperkirakan akan ditutup pada rentang Rp15.090 hingga Rp16.070 pada perdagangan hari ini. Ada beberapa faktor eksternal dan internal yang memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah.
Sentimen Eksternal yang Mempengaruhi Rupiah
Ibrahim menjelaskan bahwa salah satu faktor utama dari luar negeri yang memengaruhi pelemahan rupiah adalah data inflasi AS yang tetap tinggi. Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan memangkas suku bunga dengan kecepatan yang lebih lambat pada 2025, setelah memangkas suku bunga sebesar 75 basis poin pada 2024. Kebijakan moneter ekspansif dan inflasi di bawah pemerintahan Presiden AS terpilih, Donald Trump, juga diperkirakan akan membuat suku bunga tetap tinggi dalam jangka panjang.
Selain itu, keputusan suku bunga yang akan diumumkan oleh Jepang dan Inggris dalam beberapa pekan ini juga akan menjadi fokus perhatian pasar.
Dampak Kebijakan Ekonomi China dan Penerapan PPN di Indonesia
Dari dalam negeri, Ibrahim menyoroti bahwa pasar tengah memperhatikan risiko inflasi dan daya beli masyarakat seiring dengan rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%. Sebagai perbandingan, pada tahun 2022 saat PPN naik menjadi 11%, inflasi tercatat meningkat hingga 0,95% dalam satu bulan. Ibrahim memperingatkan bahwa dampak serupa, bahkan lebih besar, mungkin terjadi dengan kenaikan PPN kali ini.
“Investor juga kecewa dengan serangkaian langkah stimulus ekonomi agresif yang diumumkan setelah Konferensi Kerja Ekonomi Pusat (CEWC) China, yang berakhir pada Kamis lalu,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulisnya (13/12/2024).
Leave a Reply